RENUNGAN PENATA KEHIDUPAN
MEMAHAMI KASIH ALLAH DIATAS PERSEPSI DAN LOGIKA
“Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi; besar kesetiaan-Mu!….”
Ratapan 3 : 21-24
Ayat ini telah menjadi bagian yang sangat terkenal dari kitab Ratapan. Semua orang percaya pasti tahu bahkan hafal ayat itu. Bahkan dimaknai sebagai penggerak dan penyemangat hidup setiap hari ketika seseorang akan memulai kesibukan. Keyakinan akan ayat ini membuat orang bergairah menjalani hidup. Apapun tidak mudah mempengaruhinya ketika ayat itu dipercaya. Renungan penata kehidupan memahami kasih Allah di atas persepsi dan logika.
Namun demikian tidak sedikit orang yang tahu ayat itu, mempercayai sebagai ayat yang baik dan berpengaruh. Kenyataannya masih ada yang hidup bergantung dengan situasi nyata, bergerak berdasarkan logika sehingga persepsi hidup hari itu sangat bergantung pada situasi. Kalau cuaca cerah akan bergairah, kalau hujan akan mengeluh. Kalau situasi politik baik-baik akan semangat menjalani karya, kalau politk kacau akan panik dan bersungut-sungut.
Dalam Renungan Penata Kehidupan kali ini mengajak seluruh pembaca untuk bisa mengambil posisi yang tepat pada saat logika dan fakta sedang berjalan sementara iman dan keyakinan akan kasih Tuhan sedang di pertaruhkan. Logika sesuai fakta memang nyata, tetapi iman kepada Tuhan harus bisa di tempatkan pada posisi di atas segalanya. Minimal harus di atas fakta dan logika. Kerangka berpikir kita harus benar dulu. Posisi iman yang labil akan mempengaruhi kondisi hidup kita minimal hari ini.
Bagaimana logika berpikir yang bisa kita ambil agar persepsi hidup hari ini tidak suram dan tetap bergairah sementara alasan untuk murung, patah semangat dan ogah-ogahan sangat dekat di bibir kita:
1. Memulai hari dengan pengendalian diri yang kuat
Fakta nyata tentang keburukan, situasi politik, ekonomi, konflik, cuaca buruk dan lain-lain memang nyata di depan mata. Begitu buka mata, ada ribuan fakta yang bersliweran meminta untuk di tanggapi, di terima dan di yakini. Bahkan lebih cepat muncul di alam pikir kita di banding hal-hal positif lain baik dari pikiran kita atau dari asumsi kitab suci. Sebagai pemilik sejati akan hidup diri, kita punya hak penuh atas semua hal yang berkecamuk dalam hidup kita. Pengendalian diri dengan membiarkan dulu semua yang bersliweran dengan tidak membuka mulut untuk menyatakan apa yang sedang di simpulkan. Mulut sebagai “corong” dari semua yang di pikirkan perlu di kendalikan dan diatur kapan waktunya dan kapan perlunya bersuara. Sebagai orang percaya harusnya tidak asal bicara dan bisa bicara dengan bijak agar persepsi hari ini tidak menjadi kacau karena kebenaran akan kesimpulan mata.
2. Memulai hari dengan mengingat-ingat semua kebaikan Tuhan, minimal kebaikan-Nya sehari yang lalu
Segera setelah bangun pagi, pikiran kita di tuntun untuk “melihat” Tuhan sekalipun dengan memejamkan mata. Munculkan satu persatu, bahkan paksakan untuk mengingat-ingat kebaikan-Nya bahkan dari yang paling sederhana. Bisa bangun dengan enak, tidak ada keluhan karena sakit, bernafas dengan lancar, buka mata dengan normal, semua organ tubuh normal dan lain-lain, akan membantu membangun persepsi yang baik tentang Tuhan. Cuaca di luar mendung, biarkan; pagi yang dingin membuat malas beraktivitas, biarkan; pekerjaan yang menumpuk, biarkan dulu. Taruh semua hal di bawah Tuhan yang berkuasa atas segalanya. Bersyukurlah atas segala hal. Lihatlah semua kebaikan-Nya.
3. Memperbaharui resolusi percaya
Sejujurnya kita akui bahwa hidup sebagai orang percaya, tidak selalu mengalami hal-hal yang sama dengan apa yang kita percayai. Fluktuasi iman bisa terjadi. Doa menjadi sesuatu yang biasa dan sebagai kewajiban. “Nasib” belum berubah sementara doa dengan keyakinan penuh sudah dipanjatkan. Lalu? Putus asa? Mundur dari kepercayaan? Asal hidup? Berhenti mempercayai Tuhan? Mungkin hari ini masih sama dengan kemarin, mungkin suasana hati juga sama dengan kemarin tetapi keberanian untuk membuat resolusi yang beda boleh saja. Kalau kemarin biasa-biasa saja, hari ini boleh menaruh percaya yang luar biasa. Bahkan paksakan untuk menaruh percaya lebih besar dari kenyataan yang ada.
4. Tuhan tidak tinggal diam walau kita terdiam
“Kasih-Nya selalu baru setiap pagi” ini bukti bahwa Tuhan kita aktif termasuk dalam memperbaharui kasih-Nya di setiap pagi. Universalitas kasih-Nya mengharuskan kita paham sehingga tidak memotong-motong atau secara parsial. Pemahaman kasih-Nya secara parsial sering membuat kita buntu dalam memahami luasnya kasih Allah. Sebaliknya, rumitnya masalah yang sedang di hadapi, ekonomi yang sedang terpuruk, kesehatan yang sedang terganggu dan banyak hal lain sering membuat kita diam terpaku. Mampet jalan pikirannya. Seperti sedang menghadapi kebuntuan. Sebenarnya kalau berani mengalihkan perhatian dari fokus ke diri sendiri dan mau membuka hati hadirat Tuhan, sekalipun pelan, lembut dan butuh konsentrasi untuk serius mendengar, Tuhan pasti “bersuara”, berbicara yang kadang spesial untuk seseorang.
5. Jawaban Tuhan kadang tidak matematis
Ini yang harus membawa dan membuka wawasan kita berkait dengan jawaban doa. Ironisnya, seseorang masih terus saja berdoa untuk hal yang sama walau sesungguhnya sudah di jawab. Namun karena keinginan kita bersifat matematis, maka jawaban itu terasa belum ada atau tidak ada. Misalnya meminta kesembuhan dari sakit penyakit, maunya sembuh sehingga tanpa berpenyakit lagi, di tambahi doanya: nanti kalau di sembuhkan mau aktif ke gereja, mau pelayanan dan lain sebagainya. Maunya seketika, itu yang diyakini sebagai mukjizat. Padahal Tuhan sudah memulai dengan memberi kesembuhan secara berangsur-angsur. Sayangnya cara itu tidak di anggap sesuai keinginannya. Sudah merasakan hasilnya tetapi tidak diterima karena persepsinya: kesembuhan berangsur bukan mukjizat. Ada juga contoh lain sedang lapar minta makan, maunya makanan siap santap sehingga rasa laparnya segera terobati, ternyata Tuhan memberi bahan makanan yang harus dimasak dulu supaya siap santap. Bagi orang tertentu gak suka dan gak mau cara seperti itu. Tuhan jawab tapi masih merepotkan. Buka pikiranmu seluas-luasnya, Tuhan jago matematika tetapi bukan secara matematis cara-Nya menolong kita.
Kesimpulan
Semoga cara-cara ini memampukan kita memahami hidup dan cara Tuhan memelihara, melindungi dan melatih kita agar tidak menjadi “anak-anak gampang.” Jangan menganggap di “kasihi” Tuhan hanya karena doanya di jawab sesuai permintaannya. Kalau Tuhan mengasihi kita seutuhnya, sudah seharusnya kita juga mengasihi-Nya dengan seutuhnya. Sadari sempitnya pola pikir kita kalau di banding dengan keluasan kasih-Nya.