Beribadah Kepada Tuhan atau Asal Ibadah

RENUNGAN PENATA KEHIDUPAN

BERIBADAH KEPADA TUHAN ATAU ASAL IBADAH

“…..pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; ……..Tetapi aku dan seisi rumahku akan beribadah kepada TUHAN.”
Yosua 24 : 15

 

Renungan penata kehidupan beribadah kepada Tuhan atau asal ibadah. Perhatian orang terhadap kitab Yosua, tidak pernah loncat ke hal yang lain daripada ayat ini (Yosua 24:15) baik secara utuh maupun penggalan.  Padahal, kitab ini berisi sejarah resmi perebutan dan pendudukan tanah perjanjian.  Kalau sebelumnya sampai pada jaman Musa, tanah perjanjian masih sekedar janji/mimpi belum terwujud.  Nabi besar sekelas Musa pun tidak di perkenankan Tuhan untuk menikmati, tinggal menetap bahkan menjejakkan kakinya saja tidak boleh.  Kecuali hanya sekedar melihat dari kejauhan.  Betapa hebatnya Yosua, di pilih Tuhan dan diperkenan Tuhan memimpin bangsa Israel merebut tanah perjanjian, membagi dan mendiami dalam menjadi milik pusaka bagi suku-suku Israel.  Bahkan Yosua juga ikut menerima haknya dan menempati dalam jangka waktu yang lama.

Dalam kepemimpinan Yosua, bangsa Israel mampu merebut tanah perjanjian, menerima wilayah yang menjadi jatahnya, walau semua tidak asal menempati tetapi juga diawali dengan perjuangan.  Peran Tuhan sebagai pemberi tanah perjanjian sebagai warisan kepada Israel juga sangat nampak bahkan dominan.  Bukan hanya waktu mengalami kesulitan dan musuh yang kuat tetapi juga marah dan menghukum Israel kala melakukan kesalahan.

Dalam Renungan Penata Kehidupan kali ini, membahas tentang ibadah kepada Tuhan atau sekedar ibadah. Mengapa menjadi klausul yang penting untuk dibahas?

1. Ibadah telah menjadi kebutuhan setiap orang sebagai kesadaran rohaniah

Kesadaran akan sisi kerohanian telah merasuk dalam diri semua generasi dari sejak Adam dan anak-anaknya memulai hidup “baru” di dunia.  Ini panggilan batiniah seseorang.  Pada masa kini pencarian akan sosok yang perlu disembah untuk menerima semua wujud peribadahannya sudah di mulai sejak dini oleh orang tua masing-masing anak. Bahkan sejak usia dini, anak-anak sudah diarahkan untuk beribadah, walau bermula dari ketidaktahuan dan hanya sekedar peniruan.  Namun ketika anak-anak sejak usia dini memiliki kesadaran akan waktunya beribadah, sebagai bukti bahwa mereka memiliki kebutuhan rohani dan kesadaran rohani.

2. Beribadah sebagai pengakuan akan adanya “Tuhan”

Kesadaran akan adanya “Tuhan” atau sosok yang di unggulkan, layak di sembah dan patut untuk di hormati setinggi-tingginya telah membawa orang untuk beribadah.  Manusia telah mengekspresikan peribadahannya dengan berbagai bentuk dan liturgi.  Semua yang di akui lebih unggul dari manusia, spektakuler bahkan menakutkan pun tealh menjdi objek peribadahan.  Sosok dan fenomena alam semesta telah menghadirkan “Tuhan” dalam berbagai bentuk dan ekspresi.  Lalu siapa Tuhan yang benar? Tuhan yang sesungguhnya?

3. Kadang ibadah di dasari: lebih takut kepada… daripada Tuhan yang sesungguhnya

Penyadaran, pengajakan dan ikutnya seseorang dalam ritualistik keagamaan telah menjadi “kartu paksa” untuk melakukan.  Perlakuan keras dan kasar oleh pihak-pihak yang memiliki relasi kuasa lebih tinggi telah menjadi upaya tegas agar seseorang mau beribadah.  Kadang kekerasan atas nama disiplin menjadi pilihan agar taat beribadah.  Maka yang terjadi, orang mau beribadah karena takut di marahi, di perlakukan kasar, malu dengan pemimpin rohani atau takut kepada orang tua dan lain sebagainya. Kesadaran pribadi akan kebutuhan beribadah kepada Tuhan belum muncul, dilakukan tetapi masih berbau keterpaksaan.

4. Keputusan hari ini, berkonsekuensi panjang

Dalam pasal 24 dari kitab Yosua, menjelaskan bahwa keputusan hari ini akan berlaku sekarang dan seumur hidup.  Mengapa demikian? Ini semacam sumpah kehidupan di hadapan Tuhan.  Jadi memberi keputusan hari ini berkonsekuensi lama, berlaku seumur hidup, bahkan harus diteruskan oleh keturunannya.  Sekilas Yosua hanya bertanya, tidak memaksa dan tidak menyampaikan risikonya.  Tetapi siapa pun yang menjawab harus bertanggung jawab atas pilihannya.  Bagi orang Israel sangat tahu apa itu percaya dan beribadah kepada Tuhan.  Mereka juga tahu apa risiko tidak beribadah dan tahu juga risiko beribadah tidak kepada Tuhan yang benar.

5. Asal beribadah sama dengan tidak beribadah

Jebakan yang sering di alami orang adalah rutinitas, liturgiah dan asal beribadah. Sayangnya tindakan seperti ini  di anggap sudah benar karena sudah melakukan kewajibannya.  Ritualistik keagamaan terpenuhi tetapi jiwa/roh peribadahan tetap hampa.  Memang, para pemimpin keagamaan/rohaniwan sendiri tidak cukup bisa mengukur kedalaman dan kesungguhan seseorang, tetapi ibadah yang asal mengerjakan perintah akan terdeteksi untuk waktu selanjutnya.  Sang pengibadah akan tetap dan semakin sungguh atau akan semakin kendor.  Kemalasan dan keengganan beribadah akan menjadi parameter.  Kecukupan mengikuti ibadah utama dan enggan mengikuti ibadah kelompok-kelompok kecil bisa jadi bagian dari sekedar beribadah.

6. Ibadah yang sejati berisi pengakuan, pengaguman dan kesadaran

Pilihan kepada siapa kita beribadah akan membuka pikiran dan batin untuk mencari sang Pencipta.  Kekaguman akan fenomena dahsyat di alam semesta sudah bisa membuat manusia mengakui ada sosok yang besar, yang sanggup mengatur semesta.  Sekalipun ada banyak yang di akui sebagai “Tuhan,” Yosua telah mengajarkan bahwa Tuhan yang benar adalah Tuhan yang telah menyertai Israel sepanjang hidup mereka, minimal sejak perjalanan keluar dari Mesir dan sampai memasuki tanah perjanjian.  Eksistensi rohani maupun Theofani sungguh telah mereka alami.  Sangat berbeda dengan “allah-allah lain yang di sembah oleh bangsa yang telah di kalahkan.  Maka setelah melihat betapa hebatnya Tuhan, bangsa Israel mengakui bahwa Tuhannya maha kuasa, kekaguman akan meliputi hidup mereka dan atas kesadarannya mereka mau beribadah kepada-Nya.  Ibadah menjadi tempat pengakuan akan Tuhan, kagum penuh syukur dan tidak akan di kalahkan oleh kemalasan, sakit dan acara lain.  Ibadah menjadi waktu yang dinanti, bukan lagi beban.

7. Ibadah menjadi sarana saling memperhatikan, menolong dan menjaga sesama

Dalam pernyataan yang di ucapkan Yosua, terbersit sebuah sikap untuk peduli kepada orang lain.  “….. aku dan seisi rumahku…..” mengandung mandat untuk sesama, bukan mengedepankan egoisme keagamaan walau ibadah bersifat personal.  Ini mengandung tanggung jawab yang tidak ringan. Ibarat sebuah tim, harus bisa menjaga kekompakan dan keseimbangan dalam menjalankan misi/pekerjaan.  Orang-orang di luar diri Yosua adalah bagian yang harus di bina, di arahkan, di perhatikan dan tentu saja perlu di tolong.  Saling peduli dan menolong akan membantu sesama untuk melihat “Tuhan” yang berwujud.  Ini akan berpengaruh untuk menjaga kawanan agar tetap sepakat mengakui dan tetap mau beribadah kepada Tuhan.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan, dalam Renungan Penata kehidupan kali ini, mengajak para pembaca untuk menjaga spirit ibadah agar tidak di kurangi nilainya hanya karena permasalah yang tidak kunjung selesai.  Berhentilah untuk berkata: “Tuhan tidak menolongku, maka aku malas beribadah.”  Ingatlah!!! Di “biarkannya” kita tetap hidup sebagai bukti Dia menolong, Dia memperhatikan walaupun tidak sama dengan persepsi dan keinginan kita.  Tetaplah beribadah dengan sukacita, akuilah Tuhan sebagai pokok kehidupan.   Tetaplah dalam Tuhan.

Tinggalkan komentar