Renungan Penata Kehidupan – Suwargo Nunut, Neroko Katut

RENUNGAN PENATA KEHIDUPAN

SUWARGO NUNUT, NEROKO KATUT

“…..Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!”

Yosua 24 : 15b.

 

Renungan Penata Kehidupan hari ini, judul itu kata-kata yang populer dalam ranah kehidupan orang Jawa.  Agak sulit di “Indonesiakan.” kalau sekedar memindahkan atau menerjemahkan.  Dalam pemberian nasehat untuk orang Jawa yang menikah, kalimat itu sering dipakai sebagai dasar menjalankan hidup berumah tangga.  Walau konotasinya nasehat untuk istri atau calon istri.  Perannya harus sebagai subjek/ penentu kelangsungan hidup rumah tangganya, bukan sekedar objek atau menjalani secara pasif saja.  “Suwargo” sebagai gambaran hidup bahagia, sejahtera, tenang dan damai, semua berperan untuk mewujudkan, merealisasikan bahkan perlu perjuangan yang sama, bukan tergantung pada pihak tertentu, dalam hal ini suami saja tetapi juga istri.  Kalau menumpukan ke pihak suami, sementara istri tidak turut mengusahakan, maka kalau tidak tercapai akan menjadi neraka.

Pepatah Jawa itu saya ambil sebagai jembatan penghubung dengan materi pokok dalam Renungan Penata Kehidupan hari ini.  Sebelum mengulas pernyataan Yosua yang sangat terkenal dan menginspirasi sampai ke generasi masa kini ini.  Berani, menakjubkan dan layak untuk ditiru.  Ini keputusan yang tulus, terukur dan dapat dilaksanakan.

Renungan Penata Kehidupan

Lalu apa saja yang terkait dengan judul di atas serta implementasinya dalam hidup kita sehingga bisa tertata dengan baik, berlangsung seterusnya tanpa di kalahkan dengan situasi yang menghalangi?

1. Ibadah yang benar hanya tertuju kepada Tuhan yang sebenarnya

Bangsa Israel khususnya jaman Yosua adalah generasi bangsa yang tahu siapa Tuhan itu.  Kalau menilik dari penulisan kata TUHAN dengan huruf kapital ini merujuk pada sosok atau pribadi yang khusus dan spesial bagi Israel.  Dalam hal itu Tuhan yang telah menyatakan diri-Nya dan penyebutan pribadi yang berbeda dengan Allah lain.  Pada jaman itu saja, setiap bangsa punya “Tuhan” utama yang menjadi sesembahannya.  Ada yang tertarik dan mengakui Allahnya Israel, tetapi ironisnya bangsa Israel sering terpesona dan berbalik arah dengan menyembah Allah lain.  Mungkin karena diwujudkan dalam bentuk dan rupa tertentu membuat mereka menjadi beralih kepercayaan.  Sesungguhnya cukup dan hanya TUHAN saja yang patut untuk di sembah.

2. Ibadah yang benar harus dipimpin oleh orang yang punya pengalaman pribadi dengan TUHAN

Sebagai pemimpin bangsa yang lebih banyak berperang, Yosua tidak fokus ke kepemimpinan dan perang saja sehingga ibadah bukan formalisme keagamaan. Tetapi ibadah kepada Tuhan sebagai tempat terbaik untuk bertemu sang Pencipta, Bersyukur atas semua kasih karunia-Nya dan juga sebagai kesempatan meminta apapun berkait pekerjaan dan semua urusan lainnya.  Pengalaman perjumpaan dan penyertaan Tuhan kepada Yosua harus menjadi rujukan ketika dia mengajak keluarga dan seisi rumahnya untuk beribadah.  Jaman sekarang mungkin masih ada sekolah teologi yang mewajibkan calon mahasiswanya untuk menulis dan mempertanggung jawabkan panggilannya sebagai calon pemimpin peribadahan.  Dulu ini menjadi menu wajib bagi calon mahasiswa teologi.  Selanjutnya berdasar pengalaman bersama Tuhan akan di asah, di teguhkan dan di harapkan memperoleh pengalaman-pengalaman penguat lainnya.  Sehingga nantinya ketika menjadi pemimpin ibadah bukan teologinya yang diajarkan tetapi pengalaman pribadi jadi utama.

3. Ada tanggung jawab pribadi dan kawanan

Pernyataan Yosua ini mengandung tanggung jawab personal, bagaimana harus bertanggung jawab, mempertahankan dan menjalankan dalam hidup sehari-hari. Fluktuasi hidup, perubahan jaman dan kemerosotan moral dan etika bisa menjadi pemicu lunturnya semangat beribadah.  Jaman sekarang, banyaknya acara di hari minggu baik secara kemasyarakatan, kedinasan maupun rancang acara lain, kadang menjadi pergumulan yang tidak mudah di atasi. Kita harus selalu siap adanya perubahan-perubahan yang mendadak sambil tetap menjaga diri agar tidak runtuh oleh jaman.  Keputusan Yosua mengandung konsekuensi bagi diri pribadi dan kawanannya, seisi rumahnya.  Seisi rumahnya tentu saja bukan hanya anak istrinya tetapi siapapun yang ada. Sebagai pemimpin tentu banyak orang di rumahnya, ada pembantu, budak, dayang, pegawai dan lain sebagainya.

4. Konsistensi dan integritas

Sesuatu yang akan berlangsung lama, kontinyu dan rutin bisa menjebak orang menjadi rutinitas atau berputar seperti arloji saja.  Menjaga hati agar tetap menyala dengan Tuhan tidak selalu mudah.  Pertarungan antara realita, fakta dan iman tidak selalu bisa sejalan.  Konsistensi membutuhkan spirit Roh dan ketetapan hati.  Pengaruh atas kejadian dan peristiwa yang bisa mengganggu iman, harus di tundukkan pada kepercayaan penuh pada Tuhan.  Ibadah harus di dasari akan pengakuan sungguh-sungguh dan ikhlas kepada junjungannya yaitu Tuhan.  Integritas bersangkut pada satunya hati dan dengan seluruh tubuh agar bisa berjalan bersama dan saling menguatkan bukan saling melemahkan atau saling mengalahkan. Roh memang kuat tapi daging lemah. Kuat dan lemah tidak untuk bersikap permisif tetapi harus saling mendukung.

 5. Kuat, keteladanan yang bisa dicontoh dan di wariskan.

Komitmen Yosua untuk mau dan tetap beribadah kepada Tuhan adalah bukti kekuatan imannya sekaligus tantangan untuk tetap menang dalam pertarungan kepentingan dalam diri sendiri maupun dari pihak lain.  Pertarungan dalam diri sendiri bisa menjadi hebat karena dalam pikiran ada berbagai pihak yang mau menang dengan mengalahkan pihak lain seperti kondisi fisik, perasaan, suasana hati dan fakta lingkungan.  Ini keteladanan, maka sangat setuju kalau pernyataan Yosua itu selalu menginspirasi setiap generasi.  Warisan tekat Yosua bukan hanya lintas generasi tetapi berlaku juga untuk siapapun.  Keteladanan yang di wariskan tidak harus sebagai keturunan darah Yosua tetapi siapapun yang merasa terinspirasi dan berkomitmen.

6. Seisi rumah; bukan hanya berlaku untuk keluarga ini, tetapi siapapun

Mengajak beribadah secara tekun, kalau hanya sekeluarga, dalam hal ini hanya ayah, ibu dan anak, jauh lebih mudah di wujudkan daripada mengajak seluruh orang yang ada dal satu rumah.  Ini pun sudah banyak yang melakukan. Setiap minggu dalam ibadah gereja, kita bisa menemukan keluarga lengkap datang beribadah.  Ayah, ibu, anak-anak terlihat bersama, ini baik tetapi hampir belum menemukan ibadah sekeluarga bersama pembantu, babysister, perawat lansia maupun dengan pegawai-pegawai lain.  Apakah “seisi rumah” hanya di maknai sebagai keluarga inti saja?  Pernyataan Yosua tersebut bukan hanya istri dan anak-anaknya yang di ajak bahkan dituntut untuk beribadah bersama, tetapi siapapun. Ingatlah, Yosua adalah pemimpin pengganti Musa.  Pasti ada ajudan, hamba, dayang dan banyak pegawai lain.  Bisakah kita berpikir luas?

7. Mengajak beribadah, berarti menetapkan hari “Sabat” untuk seisi rumahnya

Komitmen Yosua berarti juga memberlakukan aturan untuk beribadah dan memenuhi haknya untuk beristirahat.  Sabat pada perjanjian lama ada aturan untuk beribadah dan tidak melakukan aktivitas kerja.  Jaman sekarang, bisa beribadah tanpa libur sudah biasa atau bisa ibadah dengan libur dengan seluruh pegawai atau tenaga kerjanya belum banyak yang bisa.  Perhitungan bisnis yang rame di hari minggu, pendapatan yang tidak boleh berkurang dan lain-lain masing menjadi pertimbangan untuk bisa beribadah tetapi tetap kerja atau mempekerjakan.

8. Seisi rumahku akan beribadah di rumahku

Mungkin ini bisa menjadi ide baik bagi para pembaca untuk menjadikan rumahnya menjadi tempat beribadah.  Pada jaman Yosua, bait Allah sebagai tempat khusus peribadahan belum ada, walau sudah ada kemah suci.  Berhubung ibadah di Kemah Suci sudah di atur harinya, petugas-petugasnya, liturginya dan lain-lain.  Namun ada peribadahan yang bisa dilakukan di rumah masing-masing.  Alangkah baiknya kalau semua yang sepakat dan mengerjakan komitmen Yosua membuka wawasan dengan bersedia membuat peribadahan dalam rumah bersama seisi rumahnya.

Kesimpulan

Renungan Penata Kehidupan, tidak mudah dan tidak sempit pemahaman tentang: “aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN.”  Banyak yang sudah melakukan walau masih sebatas keluarga inti atau hanya suami istri atau ibu dengan anaknya atau bapak dengan anaknya.  Masih jarang yang datang ke gereja dengan personel yang lebih luas: bapak, ibu, anak-anak, asisten rumah tangga, sopir, karyawan dan lain-lain.  Marilah kita mengarahkan perhatian kita terhadap isi keluarga kita, keselamatan dan persamaan peribadahan kita.

Tinggalkan komentar